Ilustrasi. (Dok, Ist) |
Jakarta , BatuTerkini.id – Media sosial ramai membahas fenomena siswa yang kesulitan menjawab pertanyaan dasar terkait pengetahuan umum, seperti akronim MPR atau ibu kota Jawa Tengah.
Konten tantangan yang beredar menunjukkan beberapa siswa tampak kebingungan saat harus menjawab soal-soal sederhana ini, memicu perhatian banyak pihak.
Menanggapi hal tersebut, Martadi, pakar pendidikan dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), memberikan pandangannya. Ia menyoroti sejumlah faktor yang berperan dalam masalah ini, salah satunya adalah kurang maksimalnya penyampaian materi pengetahuan umum di sekolah.
Kurikulum dan pembelajaran perlu evaluasi
Menurut Martadi, kelemahan dalam sistem pendidikan saat ini perlu menjadi refleksi bersama, terutama dalam hal implementasi kurikulum.
"Itu barangkali yang harus kita lakukan refleksi tentang sistem pendidikan kita, khususnya terkait kurikulum dan cara pembelajaran kita," ujarnya, dilansir dari laman Unesa, Rabu (9/10/2024).
Ia juga menyinggung Kurikulum Merdeka yang secara konsep dinilai baik, namun pelaksanaannya di lapangan seringkali tidak maksimal. Hal ini menyebabkan siswa kehilangan arah dalam belajar dan guru kesulitan karena kurangnya pedoman yang jelas.
“Kurikulum yang bagus tidak selalu menghasilkan hasil yang bagus jika tidak dikawal dengan baik,” kata Martadi.
Dampak penghapusan ujian nasional
Selain kurikulum, Martadi juga menyoroti penghapusan Ujian Nasional (UN). Ia menyebut, tanpa UN, siswa cenderung tidak lagi belajar dengan intensif.
Di sisi lain, sekolah kini menetapkan standar nilai yang tinggi sebagai syarat kenaikan kelas atau kelulusan, namun standar ini sering kali tidak autentik.
"Beberapa sekolah jadi berpikir pragmatis dan hanya memikirkan cara agar siswa lolos ke kampus impian, sehingga cara-cara edukatif jadi kerap diabaikan," tambahnya.
Martadi menekankan perlunya standar baru yang dapat memotivasi siswa untuk belajar lebih baik, bukan hanya sekadar mengejar nilai tinggi.
Ancaman generasi 'floating'
Lebih jauh, Martadi mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kurangnya pemahaman siswa dalam pengetahuan umum bisa berakibat pada terbentuknya generasi yang disebutnya sebagai generasi 'floating'.
"Anak-anak kita malah bisa lebih memahami negara lain dan melupakan jati diri ke-Indonesia-an kita," katanya.
Oleh karena itu, Martadi menegaskan pentingnya penguatan identitas nasional di kalangan siswa. Ia menyebut konsep Indonesian quotient sebagai upaya untuk membangun kembali kesadaran dan pengetahuan siswa tentang Indonesia.
“Ini menjadi persoalan serius bagi identitas dan keberlangsungan kita,” pungkasnya.
Dengan demikian, Martadi berharap evaluasi mendalam terhadap kurikulum dan pendekatan pembelajaran bisa dilakukan untuk memastikan siswa tidak hanya mengejar angka, tetapi juga memiliki pemahaman yang mendalam tentang pengetahuan umum dan identitas nasional mereka.